"Adalah lebih
berbahagia memberi daripada menerima." Peribahasa ini secara
terus-menerus diajarkan di seluruh pendidikan Kristen kita -- lebih
banyak memberi daripada menerima. Barangkali, fokus utamanya adalah agar
kita tidak mengutamakan diri kita sendiri atau tidak menjadi penerima,
karena ada sebuah anggapan yang mengatakan bahwa sifat alami kita pada
dasarnya egois. Tampaknya, penekanan pada lebih banyak memberi
dimaksudkan untuk mengimbangi pemusatan kita pada diri sendiri, tetapi
di satu sisi, hal ini bisa membingungkan. Hal ini tampaknya menimbulkan
suatu keyakinan, bahwa orang-orang benar seharusnya tidak menerima,
kecuali memang benar-benar perlu; mereka seharusnya hanya memiliki
sedikit keinginan untuk menerima, kalaupun keinginan itu ada. Hal ini
membuat banyak orang Kristen mempermasalahkan boleh tidaknya menerima
pujian dan hadiah-hadiah bagus lainnya yang pantas. Apabila mereka
menerima, beberapa orang meyakini bahwa mereka juga harus menunjukkan
kerendahan hati yang sungguh-sungguh. Terkadang, orang-orang yang
menerima sesuatu tidak melakukan dengan tulus atau melakukannya dengan
disertai rasa bersalah, malu, dan tidak layak. Semuanya ini justru
membatasi kebahagiaan yang diharapkan dalam menerima.
Mengapa
kita memberikan kata-kata pujian atau hadiah-hadiah kepada orang lain?
Karena kita ingin orang lain merasakan sukacita, dan hal ini juga akan
memberikan kebahagiaan yang sama bagi kita. Kita tentu tidak ingin orang
yang menerima hadiah dari kita merasa tidak nyaman. Kita ingin mereka
bahagia dan menerima pemberian kita dari hati dengan lega. Saya
bertanya-tanya, seberapa sering kita menerima dengan sikap seperti itu.
Seberapa sering kita bisa menerima dengan lega, tanpa ada perasaan atau
perkataan menggelisahkan seperti "Kamu seharusnya tidak menerimanya!"
atau "Aku tidak memintamu menerima hadiah" atau pemikiran yang tak
terucap untuk tidak terlalu menikmati hadiah seperti orang lain?
Untuk
menjadi seperti Allah, kita juga harus sungguh-sungguh mengalami dan
menikmati, baik dalam hal memberi maupun menerima. Dia juga menghendaki
kita untuk hidup bahagia dan bergembira karena anugerah-anugerah-Nya
yang sangat berharga. Tanpa ragu Dia mengharapkan kita untuk menerima,
sama seperti Dia menerima pujian dan penyembahan kita dengan terbuka dan
senang hati. Saya teringat seorang dekan di kampus saya, yang memimpin
kira-kira 40 mahasiswa di persekutuan yang sangat informal dan dinamis,
saat kami duduk di lantai sambil membicarakan tentang kehidupan.
Beberapa potong roti diedarkan dan masing-masing mengambil sebagian
kecil, namun tak disangka dekan itu mengambil segenggam roti. Ketika
saya menanyakan mengapa dia mengambil sebanyak itu, dia menjawab, "Saya
ingin mendapatkan Yesus sebanyak yang bisa saya dapatkan."
Sikap
menerima tanpa terpaksa, bukan hanya memberi, dari hati dan pikiran yang
tulus murni, harus menjadi respons konsisten kita terhadap orang-orang
yang memberikan kata-kata pujian dan hadiah-hadiah yang berharga kepada
kita. Hal ini memang benar, khususnya selama Natal ini, ketika kita
mengingat Allah yang telah memberikan hadiah terbaik-Nya bagi
orang-orang yang Dia kasihi, termasuk Anda.
Hati yang menerima dengan ucapan syukur itu benar adanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar